Pameran Seni Rupa Di Big Mall Samarinda
Dulu sewaktu masih luntang lantung di Yogyakarta Berhati Nyaman, salah satu kesukaanku ialah menikmati karya2 seni perupa Indonesia, yang sangat sering dipamerkan di Yogya. Even seperti Biennale, FKY, dan lain lain. Termasuk pameran pameran tunggal para perupa, rasanya tak pernah kulewatkan.
Bisa habis waktu berjam jam di depan karya seniman seniman yang bakatnya mengagumkan. Dan salah satu seniman favoritku tentu saja Bang Thony Tarigan, yang kata katanya akan selalu kuingat. Dia sering berkata, orang yang kurang merawat tangannya itu karena mereka tidak bisa melukis atau mematung, katanya. Dan dengan alasan itu Kami sering membully mahasiswa mahasiswa yang sedang latihan panjat tebing, yang sangat beresiko mengalami cedera pada tangannya. Tentu saja mereka dibully tanpa sepengetahuan mereka.
Seni punya kemampuan melunakkan hati, serta mengalihkan pikiran dari hal hal yang menekan jiwa. Dulu Aku sering pergi ke pameran untuk menemukan katarsis. Walau sekejap tapi itu sungguh berarti. Barangkali itu sebabnya nenek moyang kita dahulu sangat cinta damai, karena hidup mereka lekat dengan kebudayaan yang bercitarasa kesenian.
Semua emosi mereka bisa larut dalam lagu, dalam pahatan, dan dalam berbagai karya seni lainnya. Sibuk membayangkan keindahan, serta menuangkannya dalam karya seni membuat para seniman tak punya waktu untuk berkubang dalam dunia kekerasan. Jiwa yang dipeluk keindahan, bagaimana mungkin bisa larut dalam anarkisme?
Ketika hari ini kudengar berita berita kekerasan dalam demonstrasi demonstrasi yang memperjuangkan amarah dan kebencian, ketika kudengar remaja remaja bau kencur berlomba melempari polisi dengan batu dan berbagai material, tiba tiba di pameran seni rupa ini kata kata Bang Thony terngiang lagi ditelingaku.
Andai mereka bisa melukis atau mematung, atau berkriya, maka mereka mungkin akan lebih suka memakai tangan mereka untuk berkarya, ketimbang melempari para polisi, yang beresiko membuat tangan mereka kotor dan cedera. Kurasakan kebenaran kata2 itu.
Sama seperti rumput, jiwa yang kering juga mudah dibakar dan terbakar. Sebagai pengganti "air suci" dalam botol gepeng, kali ini kuangkat segelas espresso saja buat ketua Asisiasi Pematung Indonesia, yang ijazahnya tak pernah diambilnya dari kampus ISI Yogyakarta.
=========================
Mudah2an di Medan dan di Tanah Karo akan sering diadakan pameran atau kegiatan kesenian. Biar lunak sedikit jiwa anak medan itu.