mobile

baner 300

Legenda Lahirnya Marga Purba Karo



Legenda Lahirnya Marga Purba Karo


            Purba merupakan salah satu marga dalam suku Karo yang berinduk pada marga Karokaro, marga ini membedakan diri dengan marga Purba yang ada di Simalungun maupun di Toba, meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari Simalungun, namun di antara keturunannya sudah banyak yang tidak mengetahui hal itu dan inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa punya hubungan dengan Purba Simalungun apalagi dengan Purba Toba. Marga inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung Kaban Jahe dan Berastagi serta kampung-kampung lain di sekitar tempat itu. Di antara keturunan Purba Karo yang terkenal adalah Bakal Purba yang bergelar Pa Mbelgah dan Pa Pelita, keduanya berasal dari keturunan Purba Rumah Kaban Jahe, selain mereka ada juga Narsar Purba seorang ahli catur pada zaman kolonial dan Batiren Purba yang merupakan kepala sekolah pertama orang Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe pada tahun 1933. Perlu diketahui bahwa Sibayak Pa Pelita dahulu masih sering berkunjung ke Pamatang Purba, karena ia masih mengingat tanah leluhurnya di Simalungun. Akibat sering berkunjung ke Simalungun, ternyata menjadi jalan baginya bertemu dengan pendamping hidupnya yaitu salah seorang puteri Simalungun boru Purba Pakpak, yang merupakan saudari semarganya sendiri. Di kawasan Berastagi tanah Karo terdapat sebuah tempat yang dinamakan Buluh Duri, di tempat itu terdapat tujuh mata air bening dekat Lau Gendek, Berastagi dan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Menurut cerita yang berkembang, tempat yang bernama Buluh Duri itu pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah pada masa itu, di daerah Simalungun terdapat sebuah kerajaan bernama Purba dengan rajanya bernama Tuan Batiran marga Purba Pakpak. Semenjak putra bungsunya lahir, Raja ini sering mengalami sakit, banyak dukun yang sudah mengobatinya namun penyakit raja ini tak kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya. Dengan menggunakan kesaktian mereka para Guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putra bungsu raja itulah sumber penyakit dan malapetaka yang terjadi selama ini, dalam istilah Simalungun disebut Anak Panunda. Untuk menghindari malapetaka yang berkepanjangan, maka sang raja memerintahkan agar putra bungsunya itu segera dibunuh.

            Namun, para Guru Pakpak tersebut berpura-pura memenuhi perintah raja, mereka lalu pergi menyelamatkan dan membawa putra bungsu Raja Purba tersebut dalam sebuah keranjang ke tengah hutan belantara. Di dalam hutan tersebut, mereka kemudian membuat gubuk kecil dan meletakkan keranjang itu, pada keranjang itu terdapat bambu kecil yang bertuliskan "Anak ini adalah anak Raja Purba di Simalungun". Setelah gubuk selesai didirikan, para Guru Pakpak lantas meninggalkan putra raja itu sendirian. Tetapi sebelum mereka pergi, para Guru Pakpak ini lebih dahulu meletakkan panah, pedang, dan pisau di gubuk tersebut sebagai persiapan bagi putera raja tersebut setelah beranjak remaja sebagai alat perlindungan. Mereka juga menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu muncullah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk itu. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal dengan nama Buluh Duri.

            Hutan belantara itu ternyata masuk area perladangan milik marga Karo-karo Kaban, saat ini bernama Raja Berneh dekat Raya Berastagi. Melihat ada seorang bayi di tempat perladangannya, marga Kaban ini sangat terkejut, ia pun merasa anak itu adalah anugerah Tuhan baginya yang barangkali kelak bisa mendatangkan rezeki. Anak itu lalu diangkat menjadi anaknya kebetulan dia tidak punya anak laki-laki. Setelah beberapa tahun putra Raja Purba berada di tempat pembuangan, tumbuhlah dia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pada suatu hari, dia pergi berburu, dalam perburuan itu ia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Ia pun mengejar burung itu untuk menangkapnya, tetapi burung itu terus terbang, namun ia terus mengejarnya. Ketika sedang mengejar burung itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Si pemuda sangat terkejut dan heran melihat gadis cantik itu berada sendirian di tengah hutan. Di samping itu, dia merasa gembira karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertemu dengan sesama manusia. Dengan hati berdebar-debar, dihampirinya gadis cantik itu.

            Sambil tersenyum gadis itu menanyakan maksud kedatangannya ke tempat itu. Mendengar pertanyaan sang gadis, si pemuda pun menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu hendak menangkap seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab oleh si pemuda. Dengan demikian tahulah si gadis bahwa si pemuda berasal dari daerah Simalungun dan putra seorang raja bermarga Purba. Setelah cukup lama mereka berduaan, akhirnya si gadis mengajak si pemuda pergi bersama-sama ke tempat tinggalnya. Si pemuda menerima ajakannya itu, mereka lalu pergi menuju tempat tinggal si gadis. Ternyata tempat tinggalnya di dalam sebuah gua besar. Letaknya tidak begitu jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan. Beberapa saat setelah mereka memasuki gua, tiba-tiba si pemuda tadi terkejut dan hendak melarikan diri sebab ia melihat seekor ular yang sangat besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahannya supaya tidak melarikan diri. Sesaat kemudian tampak pula olehnya burung yang dikejarnya tadi sedang bertengger di dekat ular yang besar itu.
            Si pemuda terkejut kembali ketika dia mendengar ular besar itu berkata-kata mempersilakan masuk, gadis itu lalu membawa pemuda itu masuk. Tak lama kemudian, si gadis menghidangkan berbagai macam buah-buahan untuk si pemuda. Karena ular besar dan burung itu terus memperhatikannya, maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu si gadis lalu menjelaskan kepada pemuda itu bahwa ular besar itu adalah ibunya dan burung yang bulunya berwarna-warni itu adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar terus mengejarnya sehingga keduanya dapat bertemu dekat mata air itu.

            Mendengar penjelasannya, si pemuda bertanya mengapa ayahnya yang berupa burung itu berbuat demikian. Gadis itu lalu menjelaskan bahwa kedua orang tuanya menginginkan agar ia bisa menikah dengan pemuda itu. Mendengar hal itu, ia sangat terkejut, kemudian si gadis bertanya apakah ia bersedia memenuhi keinginan kedua orang tuanya itu. Si pemuda kemudian menyetujuinya, lantas tidak lama kemudian keduanya pun menikah. Setelah itu, sang mertua lalu menganjurkan mereka agar pergi mencari dan menetap di perkampungan manusia. Putera Raja Purba tersebut lalu mengajak puteri ular itu menemui ayah angkatnya marga Kaban, ayahnya sangat senang melihatnya telah memiliki pendamping, ia lalu memberikannya sebidang tanah sebagai tempat tinggal. Posisi dari tanah yang akan dijadikan tempat tinggal putera Raja Purba itu berada di arah hilir kampung marga Kaban, ia lalu menamakannya Kaban Jahe. Di tempat itu, ia mendirikansebuah gubuk (Karo: barungbarung) danmenetap bersama isterinya, puteri ular itu.

            Para keturunannya kemudian mengembangkan kampung tersebut dengan mendirikan barung-barung lainnya di sekitar barung utama (Kaban Jahe), sesuai dengan nama mereka masing-masing, yaitu Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan Ujung Aji. Selain itu, Lau Cih dan Pancur Batu juga termasuk kampung yang mereka dirikan. Demikianlah asal usul mengenai Karokaro Purba di Tanah Karo dengan perkampungan mereka yang pertama di Kaban Jahe, yang termasuk salah satu marga termuda di tanah Karo terutama di Urung Sepuluh Dua Kuta. Hingga kini mereka yang tergolong sebagai marga Purba tidak boleh mengganggu atau membunuh ular, karena mereka masih percaya bahwa nenek moyang mereka yang perempuan adalah keturunan ular.

            Shalman Purba salah seorang keturunan Purba Rumah Kaban Jahe kepada penulis mengatakan setelah pihak kerajaan menitahkan untuk membunuh putera Raja Purba tersebut karena menyandang status Anak Panunda yang kemudian berhasil diselamatkan Guru Pakpak Pitu Sedalanen, putera Raja Purba itu kemudian diangkat menjadi murid selama 7 tahun, setelah itu barulah ia melakukan perjalanan sendiri menuju tanah Karo dan tiba di Deleng Singkut. Di sana ia bertemu dengan satu keluarga umang yang memiliki seorang puteri yang cantik dan kemudian menjadi isterinya, keduanya lalu membuka perkampungan yang dinamakan Kaban Jahe.

            Menurutnya kisah tentang burung dan ular itu hanyalah cerita rekaan dari si Purba kepada semua orang yang ditemuinya termasuk juga kepada keturunannya, tujuannya adalah untuk menutupi identitas yang sebenarnya bahwa ia adalah keturunan langsung dari Raja Purba. Perjalanannya mengejar seekor burung yang akhirnya mempertemukannya dengan seorang gadis hanyalah sebuah simbol dari leluhurnya Pangultopultop yang datang dari tanah Pakpak hingga menjadi raja di tanah Purba. Sementara ular disimbolkan sebagai proses kelahiran kembali bahwa ia telah mati sebagai Purba Pakpak di Simalungun dan terlahir kembali sebagai Purba Karo di tanah Karo dan menyandang marga Karokaro mengikuti marga setempat yaitu Karokaro Kaban.


Daftar Pustaka:
Sitepu, Tabir, Drs. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993
Lubis, Pangaduan, Z. Cerita Rakyat Dari Sumatera Utara 2. Jakarta: Grasindo. 1996

Postingan Populer